Responsif Kerja Cerdas SEGERA - PDAM

Moratorium Izin Tempat Hiburan Malam Picu Kegelisahan, Komisi A DPRD Makassar Gelar Pertemuan untuk Temukan Solusi

MAKASSAR – MORATORIUM izin tempat hiburan malam yang diberlakukan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mulai memicu kegelisahan di kalangan pelaku usaha dan pekerja yang bergantung pada industri hiburan malam.

Untuk merespons situasi ini, Komisi A DPRD Kota Makassar bersama Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) menggelar pertemuan khusus di Ruang Badan Anggaran (Banggar) DPRD Makassar pada Selasa, 3 Juni 2025.

Pertemuan ini juga dihadiri oleh Asosiasi Pengusaha Industri Hiburan. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap Surat Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 714/5/2025 yang menghentikan sementara penerbitan izin usaha hiburan malam.

Ketua Komisi A, Andi Pahlevi, menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk merumuskan solusi yang tidak merugikan siapa pun. “Pemkot dan BUMD perlu hadir dengan solusi konkret. Tempat hiburan juga menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pajak, parkir, dan lainnya. Mereka tidak bisa ditinggalkan begitu saja,” ujarnya tegas.

Pertemuan ini membahas berbagai persoalan, mulai dari ketidakpastian nasib tenaga kerja hingga celah regulasi yang sering dimanfaatkan. Anggota Komisi A, Tri Zulkarnain, menambahkan bahwa dewan telah melakukan inspeksi mendadak (sidak) pascapelantikan DPRD.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas tempat hiburan malam hanya mengantongi sebagian izin yang diwajibkan, bahkan ditemukan pemalsuan dokumen izin dengan barcode dan nomor surat yang dimanipulasi. “Ini bukan hanya pelanggaran administrasi, tetapi sudah masuk ranah pidana. Sangat merugikan pelaku usaha sendiri karena akan berhadapan dengan sanksi berat,” kata Tri.

Tri juga menyoroti munculnya dualisme organisasi dalam wadah asosiasi pelaku usaha hiburan malam. DPRD, menurutnya, membutuhkan mitra dialog yang solid dan terstruktur. “Kami tidak ingin ada dua matahari. Satu suara akan memudahkan penyaluran aspirasi dan mempercepat solusi,” tegasnya.

DPRD pun menyesalkan minimnya komunikasi dari pelaku usaha terkait sejumlah penyegelan outlet hiburan oleh pemerintah, termasuk yang terjadi di kawasan KIMA, yang hingga kini belum ada penjelasan resmi kepada DPRD.

Dari sisi regulasi, perwakilan Dinas PTSP Makassar mengaku serba salah. Moratorium dari provinsi telah menghambat penerbitan izin usaha jenis bar, diskotik, dan kelab malam, yang justru kontraproduktif terhadap semangat peningkatan investasi. “Banyak yang menyamarkan usaha bar dan diskotik sebagai restoran. Ini menyulitkan pengawasan kami,” ungkapnya.

Ketua Asosiasi Pengusaha Industri Hiburan Makassar, Hasrul Kaharuddin, mengungkapkan bahwa pelaku usaha kesulitan mendapatkan izin maupun operasional usaha, meskipun telah melalui proses administrasi yang panjang. Ia menilai, moratorium yang dikeluarkan oleh Pemprov Sulsel semakin memperburuk situasi.

“Kami ini pelaku usaha susah sekali mengurus izin. Kadang sudah diproses, tapi ujung-ujungnya tidak ada kejelasan. Jadi sebelum kami melakukan audiensi dengan pihak provinsi, kami merasa perlu menyampaikan aspirasi ini ke DPRD Kota Makassar sebagai ‘tuan rumah’ kami,” ujarnya.

Hasrul menegaskan bahwa asosiasi tidak bermaksud melanggar aturan yang berlaku, melainkan berharap ada kepastian hukum dan pembinaan dari pemerintah kota agar sektor usaha hiburan dapat tetap berjalan secara tertib.

“Kami sangat berharap bantuan DPRD Makassar dan dinas-dinas terkait untuk memberikan kami masukan, bukan untuk melanggar aturan, tapi agar kami tahu regulasi mana yang harus kami ikuti,” tambahnya.

Ia juga menyinggung soal pembinaan yang dilakukan pemerintah di beberapa kawasan seperti KIMA, yang dinilainya sebagai bentuk pendekatan persuasif yang bisa ditiru untuk sektor hiburan. “Kalau pembinaan dilakukan, itu artinya masih ada ruang hidup bagi usaha. Inilah yang kami harapkan dari Komisi A—regulasi seperti apa yang bisa dijalankan agar kami tetap beroperasi secara legal,” tegasnya.

Terkait moratorium perizinan dari Pemprov Sulsel, Hasrul mengakui bahwa hal tersebut menimbulkan ketakutan di kalangan pengusaha. Namun, ia menegaskan bahwa asosiasi memilih untuk menempuh jalur dialog, bukan demonstrasi.

“Pas keluar moratorium dari provinsi, kami ketakutan. Tapi saya bilang ke teman-teman, kita lakukan pendekatan persuasif dulu. Saya percaya DPRD Makassar bisa jadi jembatan agar usaha kami tetap berjalan,” ujarnya.

Pertemuan ini ditutup dengan harapan agar komunikasi antara Pemkot Makassar dan Pemprov Sulsel bisa lebih intens dan terbuka. DPRD meminta agar kebijakan yang diambil tidak hanya berbasis aturan semata, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan keberlangsungan usaha. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *