Ditjen AHU Siap Bantu APH, Terkait Masalah Akta Yayasan Atma Jaya

MAKASSAR – Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) yang berada di bawah Kanwil Kemenkum Sulawesi Selatan, telah menyatakan kesiapannya untuk memberikan dukungan kepada Aparat Penegak Hukum (APH).

Ini berhubungan dengan dugaan keterlibatan seorang notaris dalam proses penerbitan akta nomor 34 yang berkaitan dengan Yayasan Atma Jaya yang baru. Kasus ini, sekarang sedang ditangani di Pengadilan Negeri (PN) Makassar dan Polda Sulsel.

Menurut Kepala Divisi Pelayanan Hukum (Kadiv Yankum) Kanwil Kemenkum Sulsel, Demson Marihot, kasus tersebut memang memerlukan pendalaman lebih lanjut. Dan APH telah mengirimkan surat kepada mereka untuk meminta izin dalam memeriksa notaris yang terlibat, yaitu Betsy Sirua.

“Ini perlu didalami. Namun, kemarin APH sudah mengirimkan surat kepada kami untuk izin pemeriksaan notaris tersebut, dan notaris juga akan diperiksa,” ujarnya Denso yang mengaku siap membantu dalam segala hal yang dibutuhkan oleh APH terkait masalah yang dihadapi Yayasan Atma Jaya.

Ia juga memastikan bahwa tidak akan ada upaya untuk menghalangi proses tersebut. “Kami siap mendukung semua yang dibutuhkan APH. Tugas kami berkaitan dengan administrasi pendaftaran yayasan dan perubahan kepengurusan. Sebenarnya, ini adalah masalah internal. Mereka mengadakan rapat, mengeluarkan berita acara, dan itu diajukan ke notaris, yang kemudian mengajukan ke kami,” lanjutnya.

Lebih jauh, Demson menjelaskan bahwa sistem yang mereka miliki bersifat otomatis. Ia menyatakan bahwa seharusnya masalah seperti ini sudah dapat diselesaikan di tingkat notaris, mengingat notaris adalah pejabat negara yang telah disumpah. Namun, karena ada masalah, pihaknya kini melakukan penelusuran kembali terhadap notaris yang bersangkutan.

“Notaris ini adalah pejabat negara, dan kami menganggap seharusnya sudah jelas, dimasukkan ke dalam AHU online. Namun, karena ada masalah, kami akan melacak di mana letak kesalahannya. Jadi, APH akan melakukan itu. Tugas kami adalah menyediakan data apa pun yang dibutuhkan APH,” tegasnya.

Terkait dampak dari kasus ini, jika pengadilan memutuskan bahwa akta notaris tersebut harus dibatalkan, maka hal itu bisa saja terjadi. Pihaknya hanya akan mengikuti penetapan pengadilan, sehingga jika akta tersebut harus dibatalkan, mereka akan melakukannya.

“Untuk verifikasi di kami, karena AHU masih dalam proses perbaikan, kami usulkan ke depan agar setiap perubahan pengurus harus disertai permintaan OTP dari pemegang saham atau kepengurusan. Dengan demikian, prosesnya akan lebih formal. Selama ini, tidak seperti itu. Kami hanya menempatkan notaris sebagai pejabat negara yang berhak untuk itu,” lanjutnya.

Demson juga mengakui bahwa dalam sistem pelayanan terdapat dua sisi, terutama dalam hal kecepatan layanan. Ia menjelaskan bahwa semakin cepat layanan yang diberikan, maka proses administrasinya juga harus dipersingkat. Namun, jika tidak, maka layanan akan berlangsung lebih lama.

“Layanan online ini hadir untuk menghindari adanya komunikasi di luar kantor. Jadi, seharusnya di notaris itu sudah jelas. Dalam hal ini, kami serahkan sepenuhnya kepada APH. Jika notaris terbukti terlibat, kami pasti akan mengizinkan untuk diperiksa,” ungkapnya.

Apabila kasus ini dibawa ke pengadilan, pihaknya siap untuk mengikuti sidang. Jika dalam sidang terbukti bahwa notaris terlibat, ia meminta APH untuk memeriksa notaris tersebut. “Namun, jika notaris mengaku hanya membawa berkas, dan semua sudah ada di situ, maka itu harus dikerjakan. Tetapi jika ada salah satu yang tidak hadir, dan terdapat unsur kesalahan serta keterlibatan, kami tidak akan menghalangi untuk diperiksa,” jelasnya.

Diketahui bahwa kasus ini sedang berlangsung di PN Makassar, setelah ahli waris John Candra Syarif melalui kuasa hukumnya, Muara Harianja, melaporkan Alex Walalangi sebagai pihak yang membentuk yayasan baru, Betsy Sirua sebagai notaris yang menerbitkan akta, dan Dirjen AHU sebagai pihak yang menerima.

Muara menjelaskan bahwa persoalan ini bermula dari pemberhentian dua pembina yayasan, Alexander Walalangi dan Lucas Paliling, pada 5 September 2024. Saat itu, pembina, pengurus, dan pengawas mengadakan rapat untuk pergantian pembina. Yang awalnya, Yayasan Atma Jaya memiliki tiga pembina, masing-masing John Chandra Syarif, Alex Walalangi, dan Lucas Paliling.

Dan diputuskan, Alex dan Lucas sudah tidak efektif lagi, yang akhirnya diberhentikan sebagai pembina. Lucas merupakan pastor yang memiliki kegiatan keagamaan dan Alex terlalu banyak di luar negeri, sehingga gagal menjalankan kewajibannya, bahkan rapat sekali setahun pun tidak bisa dilakukan.

”Pak Lucas ini menjadi Pastor dan Alex ini lebih sering di luar negeri, tepatnya di Australia. Mereka tidak pernah menjalankan kewajiban, bahkan rapat satu tahun satu kali via daring saja tidak bisa,” ujarnya.

Kemudian tanggal 18 Desember, pembina yang diberhentikan melakukan rapat di Keuskupan Agung, untuk membentuk yayasan baru dengan nama yang sama, Yayasan Atma Jaya. Hal ini janggal, sebab AD/ART menegaskan, rapat hanya bisa dilakukan di kantor Yayasan.

Selanjutnya, 22 Desember 2024, hasil rapat mereka dibawa ke notaris atas nama Betsy Sirua. Mereka meminta pengesahan AD/ART baru, karena susunan pengurusnya sudah berbeda.

Muara Harianja menilai, ada banyak kejanggalan dalam kasus ini. Pertama, melakukan rapat yang tempatnya di luar ketentuan AD/ART, kemudian yang mengajukan ini, nama di akte Yayasan itu Alex Walalangi namun di notaris berubah menjadi Alexander Walalangi.

Anehnya lagi, kata Muara Harianja, Raymond Arfandy datang ke kampus untuk meminta serah terima yayasan. Namun itu ditolak oleh yayasan lama, karena dianggap tidak sesuai dengan aturan yang muncul secara tiba-tiba.
”Saya bilang tunggu dulu, meski pun kamu ada akta baru dan AHU, bukan berarti kamu berhak. Belum ada serah terima, apalagi di sini ada manajemen, ada surat-surat, ada kantor, semua harus dilalui dulu,” ucapnya.

Selain itu, masih ada juga proses pengadilan yang sedang berjalan. Sehingga, yayasan menganggap Raymond tidak bisa melakukan apa pun, terlebih lagi masuk ke kampus. Sebab Raymond dianggap hanya memegang kertas yang kekuatannya masih diuji di Pengadilan.

”Mereka ini terlalu memaksakan kehendak. Seharusnya, kalau memang mengerti hukum, tunggu saja lah sampai selesai ini proses. Jadi kami tidak mau bertindak di luar hukum, jadi kita harus menghormati itu,” tuturnya.

Pada intinya, kata Muara, ini terjadi karena mereka tidak terima diberhentikan. Mereka merasa memiliki dan punya hak membuat AD/ART baru. Mereka datang ke pihak John untuk minta serah terima karena John memiliki yang asli, dan ingin masuk dengan akte baru agar John diusir.

”Kasarnya, mereka ini mau ambil alih yayasan secara paksa dari kami. Padahal sertipikat tanah punya kita, akta-akta di tangan kami, pembelian dan kwitansi ada di tangan kita. Jadi ada empat bidang tanah di Tanjung Bunga, dibeli Pak John harga Rp149 juta tahun 1982, sampai sekarang sertipikat ada di tangan beliau,” tukasnya.

Terlebih, sebagai pemegang benefit owner atau penyandang dana, sesuai undang-undang,John Candra punya hak. Sebab selama ini Alex Walalangi dan Lucas Paliling tidak pernah menyetor dana minimal 25 persen.

“Benefit owner adalah yang pernah menyetorkan dana minimal 25 persen, padahal selama ini hanya Pak John yang setor 100 persen. Jadi AHU salah menyebut kalau Alex Walalangi sebagai benefit owner, karena tidak pernah menyetor kepada Yayasan Atma Jaya Makassar,” ungkapnya.

Sementara, John Candra Syarif baru saja wafat pada 8 Maret lalu. Sehingga, dia juga menegaskan bahwa Atma Jaya tidak memiliki korelasi dengan keuskupan, karena tidak ada kontribusi keuskupan sama sekali di sini (Atma Jaya).

Ketua Yayasan Atma Jaya Makassar, Lita Limpo menegaskan, sejak Atma Jaya dibangun tahun 1981 Jon selalu mendampingi sampai wafat. Dia yang selalu mengurusi para pegawai dan seluruh hal yang dibutuhkan Atma Jaya.

”Saya ingat betul, tahun 1989 ada salah satu anggota yang meminta gaji dua bulan, Pak John berikan itu tanpa tanda terima. Bayangkan saja, seperti apa pengorbanan Pak John. Kemudian ada pembina yang jarang muncul dan merasa berhak membentuk pengurus baru, karena mereka berdua dan Pak John sendiri,” kata Lita.

Lebih lanjut dia mengatakan, pasca kejadian ini, banyak pihak yang berpikir bahwa dirinya punya intrik untuk mendekati John. Padahal, dia mengaku semata-mata membela orang karena iman dan melihat budi yang diberikan John.
”Saya ini dididik untuk tidak menjadi pembohong dan tidak melupakan budi orang. Saya pegang siri’ na pacce, maka saya berani memperjuangkan itu. Saya yakin, kebenaran berada di atas segala-galanya. Itulah prinsipnya. Disertasi saya itu nilai-nilai siri dan pacce dalam pengambilan keputusan, makanya saya mau perjuangkan ini,” pungkasnya. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *