Daiyah, Cahaya Harapan di Wilayah 3T

ACEH – DI tengah kesunyian dan keterbatasan, Kementerian Agama (Kemenag) mengirimkan 1.000 dai ke berbagai wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) selama bulan Ramadan 1446 H/2025 M.

Dalam misi mulia ini, 213 di antaranya adalah perempuan, atau yang akrab disapa daiyah. Langkah ini bukan sekadar pengiriman, melainkan sebuah upaya untuk memperkuat peran perempuan dalam dakwah Islam yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Ahmad Zayadi, Direktur Penerangan Agama Islam Kemenag, menegaskan bahwa kehadiran daiyah sangat penting. Mereka tidak hanya menyampaikan ajaran Islam, tetapi juga berperan dalam pemberdayaan perempuan, pendidikan keagamaan anak-anak, serta memperkuat ketahanan sosial di masyarakat.

“Kehadiran mereka sangat dibutuhkan, terutama di daerah yang selama ini memiliki keterbatasan akses terhadap layanan keagamaan,” ujarnya di Jakarta.

Program ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat di wilayah 3T. Zayadi berharap semakin banyak daiyah yang terlibat di masa mendatang, sehingga dakwah di Indonesia semakin inklusif dan dapat menyentuh semua lapisan masyarakat.

“Peran perempuan dalam dakwah harus terus diperkuat agar semakin banyak komunitas yang mendapatkan manfaatnya,” tambahnya.

Salah satu peran kunci daiyah adalah memberikan pemahaman agama yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari. Subhan Nur, Analis Kebijakan Ahli Muda pada Subdirektorat Dakwah dan Hari Besar Islam Kemenag, menjelaskan bahwa daiyah berfungsi sebagai tempat konsultasi bagi para ibu dan remaja perempuan dalam memahami hukum Islam terkait fikih wanita.

“Kehadiran daiyah sangat penting, terutama untuk menjawab berbagai persoalan fikih wanita yang sering kali sulit dibahas secara terbuka di masyarakat,” jelasnya.

Siti Kasumah, salah satu daiyah yang ditugaskan ke Desa Laelangge, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Aceh, merasakan langsung tantangan berdakwah di daerah 3T. Perempuan berusia 27 tahun ini harus menempuh perjalanan yang tidak mudah, melewati jalan berbatu dan tanah merah. “Medannya cukup sulit. Tapi semua itu saya jalani dengan niat dakwah,” ungkapnya.

Di Desa Laelangge, akses terhadap pendidikan agama masih sangat terbatas. Banyak anak-anak yang belum lancar membaca Al-Qur’an, dan kaum ibu yang minim pemahaman tentang fikih ibadah.

“Di sini saya bukan hanya mengajar mengaji, tetapi juga memberi bimbingan keagamaan bagi para ibu. Mereka antusias sekali, karena selama ini jarang ada pendakwah perempuan yang bisa mereka ajak berdiskusi lebih dalam tentang persoalan keagamaan yang mereka alami,” kata Siti.

Meskipun menghadapi kendala seperti keterbatasan infrastruktur dan fasilitas, Siti bersyukur karena masyarakat di sana sangat terbuka dan mendukung program dakwah yang mereka jalankan. “Jaringan internet lemah, listrik juga kadang padam. Tapi saya bersyukur, masyarakat di sini sangat mendukung,” pungkasnya.

Dengan semangat dan dedikasi, daiyah seperti Siti menjadi cahaya harapan bagi masyarakat di wilayah terpencil. Mereka bukan hanya penyampai pesan agama, tetapi juga penggerak perubahan yang membawa harapan baru bagi perempuan dan anak-anak di daerah 3T. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *